MARGAHAYU – Upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-108 digelar di Lapangan Apel Staf II Lanud Sulaiman, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Jumat (20/5/16). Komandan Depohar 40 Sulaiman Kolonel Lek Joseph Rizki P., S.T.,S.IP., yang jadi Inspektur Upacara, diikuti seluruh personel baik militer maupun Pegawai Negeri Sipil dari Lanud dan insub seperti Makorpaskhas, Pusdiklat Paskhas, GPP III, serta Depohar 40 dan 70.
“Saya memandang penting tema “Mengukir Makna Kebangkitan Nasional dengan Mewujudkan Indonesia yang Bekerja Nyata, Mandiri, dan Berkarakter” yang diangkat untuk peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2016 ini. Dengan tema ini kita ingin menunjukkan bahwa tantangan apapun yang kita hadapi saat ini harus kita jawab dengan memfokuskan diri pada kerja nyata secara mandiri dan berkarakter,” kata Irup membacakan amanat Menkominfo Rudiantara.
Dandepohar 40 Sulaiman melanjutkan, salah satu inspirasi yang bisa kita serap dari berdirinya Budi Utomo sebagai sebuah organisasi modern pada tahun 1908 adalah munculnya sumber daya manusia Indonesia yang terdidik, memiliki jiwa nasionalisme kebangsaan, dan memiliki cita-cita mulia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Dengan tampilnya sumber daya manusia yang unggul inilah semangat kebangkitan nasional dimulai.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa komitmen terhadap NKRI ini penting untuk ditegaskan kembali pada upacara peringatan Harkitnas ke-108 ini mengingat setelah sekian lama berdiri sebagai bangsa, ancaman, dan tantangan akan keutuhan NKRI tidak selangkah pun surut. Bahkan melalui kemajuan teknologi digital, ancaman radikalisme dan terorisme, misalnya, mendapatkan medium baru untuk penyebaran paham dan prakteknya.
“Pada aspek-aspek kerja nyata, kemandirian, dan karakter kitalah terletak kunci untuk memenangkannya. Kini bukan saatnya lagi mengedepankan hal-hal sekedar pengembangan wacana yang sifatnya seremonial dan tidak produktif,” tandas Dandepohar.
Kini saatnya bekerja nyata dan mandiri dengan cara-cara baru penuh inisiatif bukan hanya mempertahankan dan membenarkan cara-cara lama hanya karena telah menjadi kebiasaan sehari-hari, bukan berarti sesuatu telah benar dan bermanfaat. “Kita harus membiasakan yang benar dan bukan sekedar membenarkan yang biasa,” tegasnya.