Lanjutan pidato Bung Karno yang fenomenal di depan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945:
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Wettanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu.
Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische “Weltanschauung”. “Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan, “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam.
Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua Yang Mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung” bekerja mati-matian untuk me-“realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu.
Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed :“Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c. s.”, John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shock the world”, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun.
Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ach. Dari 1895 “Weitanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di “generale-repetitie”-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetisi” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu disedia-sediakan, bahkan diihtiar-ihtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed. Hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian ?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu?. Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengihtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbulah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung”nya telah siap dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The Three Peoples’s Principles” San Min Chu I, – Mintsu, Minchuan, Min Sheng, -nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh Doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialismekah, Marxisme kah, San Min Chu I kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, -macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesomo, bahwa kita harus mencari persetujuan menncari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “weltanschuung” yang kita semua setujui. Saya katakan lagi setujui. Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanusi setujui, Yang Saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.
Apakah itu? Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberikan kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”.
Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah
Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain : maafkanlah saya memakai perkatäan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu Nationale Staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu, Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.
Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. Satu Nationale Staat!
Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa : “Le desir, d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu.
Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, ya itu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitätenfrage”, di situ dinyatakan “Was ist eine Nation?” jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus Schicksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin pun tatkala, kalau tidak salah Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota terhormat Mr. Yamin berkata : “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer-pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang. “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”-nya dan perasaan orangnya, “L ?ame et le desir.”
Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami oleh manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu Tanah Air. Tanah Air itu adalah satu kesatuan.
Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara dua lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “Golfbreaker” atau penghadang gelombang Lautan Pasifik adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa Kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula.
Itu ditaruhkan oleh Allah SWT. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, Tanah Air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia lah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah Tanah-air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Diantara bangsa Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 1/2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bahagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bahagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusianya yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari Ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70 juta ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah jadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70 juta, tetapi 70 juta, yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)