BANDUNG – Sekda Jabar Iwa Karniwa mengaku pihaknya masih memproses masalah ribuan pensiunan PTPN VIII menuntut uang pensiun. Iwa yang juga Komisaris PTPN VIII ini akan dibahas lebih lanjut bersama jajaran direksi.
“Belum ada keputusan, masih dalam proses,” tukas Iwa kepada Balebandung.com usai Rapat Dewan Komisaris PTPN 8 di Kantor PTPN 8 Jl Sindangsirna Bandung, Sabtu (23/3/19).
Sebelumnya diberitakan ribuan bekas karyawan PTPN VIIIyang tersebar di Jawa Barat dan Banten menuntut hak uang “kadeudeuh” yang tak kunjung dibayarkan.
Mereka menuntut pihak manajemen dan direksi PTPN VIII segera membayarkan hak dana pensiun tanpa dicicil. Apalagi hal itu tercantum dalam perjanjian kerja dan Surat Keputusan (SK) pensiun yang mereka terima.
Koordinator pensiunan Sehati PTPN VIII, Agus Sudrajat mengatakan, sejak 2015 hingga 2018, pembayaran uang tersebut oleh manajemen PTPN XIII tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dana pensiun yang seharusnya mereka terima utuh, malah dicicil dengan nominal yang kecil. Tunggakan yang harus dibayarkan oleh manajemen PTPN VIII kepada para mantan pegawainya itu kurang lebih Rp 300 miliar.
“Dalam perjanjian kerja dan SK Pensiun yang kami terima, tidak ada kalimat dicicil. Jumlah karyawan yang pensiun sejak 2015 hingga 2018 itu ada 5.430 karyawan yang tersebar di Jabar dan Banten. Uang pesangangon atau kadeudeuh yang seharusnya dibayarkan tunai justru dicicil dengan besaran 5 persen, 10 persen, 12,5 persen dan terakhir 30 persen. Itu dibayar setiap kami tagih dan diberikan sebelum hari lebaran tiba,” kata Agus di Soreang, Selasa (12/3).
Dampak dari dicicilnya uang pesangaon ini, kata Agus, tentu saja sangat merugikan para mantan pegawai PTPN VIII yang rata-rata telah mengabdi di atas 30 tahun itu. Padahal, uang kadeudeuh itu sangat mereka harapkan untuk menopang perekonomian keluarga.
Tapi karena dicicil dan pembayarannya setahun sekali, uang pesangon tersebut tidak bisa dijadikan modal usaha atau untuk membiayai kebutuhan yang nilainya besar.
“Kalau nominalnya dari yang terendah itu sekitar Rp35 juta dan terbesar Rp600 juta per karyawan itu. Kalau saja dibayarkan secara utuh, kan bisa buat modal usaha, biaya pendidikan anak dan lainnya. Tapi karena dicicil dengan nilai yang kecil, itu uang pesangangon tidak bisa dipakai untuk keperluan yang besar,” ujarnya.
Agus mengungkapkan, selama ini pihaknya terus menuntut hak mereka kepada jajaran direksi PTPN VIII. Namun pihak direksi selalu beralasan jika saat ini perusahaan tak memiliki uang. Performa perusahaan terus menurun karena penjualan produk teh dan karet sedang tidak bagus.
“Bukannya kami tidak mau tahu urusan itu, tapi kan ini tetap hak kami yang harus dibayarkan. Toh, kami sudah mengabdi mengeluarkan tenaga untuk perusahaan ini. Sedangkan kondisi perusahaan menurun kan saat ini dan kedepannya, bukan ketika kami masih bekerja,” tukasnya.
Langkah selanjutnya yang akan ditempuh, lanjut Agus, pihaknya akan mengadukan nasib mereka ke Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Presiden Joko Widodo juga kepada Gubernur Jabar dan para kepala daerah yang di wilayahnya terdapat perusahaan plat merah itu beroperasi. ***