BANDUNG – Perum Perhutani membantah tudingan yang menyebutkan banjir bandang yang terjadi di Kab Garut pada 20 September lalu akibat lahan kritis yang dikelola Perhutani di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, Garut. Lahan kritis yang terjadi itu pun disinyalir akibat adanya alih fungsi lahan di kawasan hutan DAS Cimanuk.
Corporate Secretary Perum Perhutani Unit III Jabar Banten, John Novarly menyatakan tudingan tersebut tidak tepat. Sebab menurut John dari total luas lahan Sub DAS Cimanuk 30.422 hektare dengan lahan kritis mencapai 21,65%, lahan yang dikelola Perhutani hanya seluas 30.442 ha, dengan lahan kritis hanya 1.073 ha atau 3,5% dari lahan yang dikelola Perhutani. Sementara di luar lahan yang dikelola oleh Perhutani tersebut persentasenya lebih didominasi oleh lahan hak milik.
“Jadi kami ingin mengklarifikasi yang menyebutkan Perhutani turut berkontribusi terhadap kerusakan lahan yang menyebabkan banjir itu kurang tepat karena lahan kritis di lahan Perhutani itu hanya 1.073 hektare atau 3,5% dari total lahan yang dikelola Perhutani,” kilah John saat konferensi pers di Kantor Perhutani Unit III Jabar Banten, Jl Sukarno-Hatta, Bandung, Selasa (27/9/16).
Pihaknya mengakui dari lahan kritis Perhutani seluas 1.073 ha tersebut sebanyak 8.484 warga Garut bergantung sebagai petani sayur. John mengakui Perhutani punya program untuk menanami lahan pertanian itu untuk diganti ke perkebunan kopi. Namun hal itu diakui kurang berhasil karena warga cukup sulit untuk beralih mata pencaharian.
Tapi menurut John di luar lahan kritis tersebut masih banyak berdiri pepohonan di kawasan hutan DAS Cimanuk yang dikelola Perhutani. “Kondisi hutan di lahan Perhutani masih bagus. Fungsi hidroorologis di lahan yang dikelola Perhutani masih cukup baik. Jadi kalau hanya Perhutani yang dituding jadi penyebab lahan kritis di DAS Cimanuk, saya kira itu perlu dikaji lebih lanjut,” tandas John.