ARJASARI, Balebandung.com – Terlepas dari permasalahan laras pada Goong Rénténg Embah Bandong yang belum sempat teridentifikasi oleh peneliti manapun, sejarah mengenai Goong Rénteng Embah Bandong mungkin belum banyak diketahui khalayak.
Salah seorang pengurus (bisa dikatakan sebagai seorang pupuhu/ketua) Sasaka Waruga Pusaka, H. Wawan mengatakan, lagu-lagu pada Goong Rénténg Embah Bandong yang berjumlah 14 buah lagu masing-masing memiliki cerita yang berkorelasi dengan sejarahnya pada masa lampau.
Nih, ke-14 lagu-lagu pokok tersebut:
1. Lagu Ganggong: menceritakan keadaan jaman yang seisinya besar, serba luas, seperti: gunung besar (Gunung Sunda), pohon dan binatang yang besar, sungai yang besar, daratan yang luas;
2. Lagu Gonjing Patala: menceritakan gempa vulkanik ketika Gunung Sunda meletus;
3. Lagu Pangkur: menceritakan keadaan setelah Gunung Sunda meletus mengakibatkan tanah sekitarnya berantakan seperti tanah yang dibajak;
4. Lagu Galumpit Naek Angin-angin: menceritakan permukaan tanah bagian selatan Gunung Sunda retak bahkan amblas menjadikan tebing-tebing yang curam dan dalam, sehingga keadaan permukaan tanah seperti celah-celah bukit. Keadaan sunyi senyap setelah Gunung Sunda meletus.
5. Lagu Malébér: menceritakan permukaan tanah yang acak-acakan amblas ke arah utara dan selatan sehingga terbentuk Gunung Malabar;
6. Lagu Papadanan: menceritakan bagian permukaan tanah yang amblas menjadi Talagahiang. Di pinggiran Talagahiang mulai tumbuh pohon-pohon yang diawali tumbuhan berdaun panjang seperti pandan;
7. Lagu Bango Cocong (Pucung Lingkup): menceritakan hewan-hewan yang hidup di Talagahiang saat itu;
8. Lagu Magatruk: menceritakan ayah dan anak yang sedang bingung memikirkan hal ilmu yang diterima dari wangsit;
9. Lagu Asmarandana: menceritakan ayah dan anak yang sedang gandrung oleh ilmu;
10. Lagu Bujang Anom: menceritakan pemuda ahli bertapa datang ke wilayah Tanjungwangi/Tunjungwangi/Lebakwangi-Batukarut;
11. Lagu Joher (Galatik Nunut): menceritakan mengenai ilmu berupa sumber segalanya/cahaya dari sumber cahaya;
12. Lagu Boyong: menceritakan berhasilnya kabandangan/kaboyong/terbawa oleh ilmu yang dimaksud;
13. Lagu Sodor: menceritakan pemuda ahli bertapa menyampaikan hal ilmu yang didapatkannya kepada sang ayah, dan
14. Lagu Seseregan: menceritakan rasa bahagianya meraih ilmu yang diharapkan.
Lagu nomor 1 sampai 7 lebih condong menceritakan keadaan daerah Lebakwangi-Batukarut pada masa lampau. Dimulai dari daerah yang asalnya hutan belantara (leuweung ganggong) yang hancur karena letusan Gunung Sunda, yang kemudian berubah menjadi Talagahiang yang dihuni oleh berbagai macam makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan.
Sedangkan lagu 8 sampai lagu 14 lebih condong menceritakan tentang cerita sejarah datangnya Goong Rénténg Embah Bandong ke wilayah Lebakwangi-Batukarut. Lagu-lagu tersebut berkorelasi dengan dongeng masyarakat setempat tentang Goong Rénténg Embah Bandong yang dipercayai sebagai sejarah.
Pada kisahnya, diceritakan ada seorang pemuda ahli petapa bernama Manggung Jayadikusumah yang datang ke wilayah Tanjungwangi/Tunjungwangi (sekarang Lebakwangi-Batukarut) dengan tujuan ingin mengetahui darahnya sendiri (untuk mencari jati dirinya sendiri).
Setibanya di wilayah tersebut, Manggung Jayadikusumah bertarung dengan seorang kakek warga pribumi, namun kalah. Karena kekalahannya, ia berguru kepada kakek yang merupakan kasepuhan yang tinggal di wilayah tersebut.
Setelah berguru selama beberapa lama, Manggung Jayadikusumah pun mulai menemukan jati dirinya. Ia merasa kabandang/terbawa oleh suasana daerah tersebut, sehingga ia memutuskan untuk menetap di sana.
Karena berasal dari daerah yang berbeda, maka Manggungdikusumah pulang sejenak untuk meminta ijin kepada orang tuanya untuk berpindah ke Tunjungwangi/Tanjungwangi. Ketika kembali, ia membawa seperangkat alat musik gamelan Goong Rénténg yang akhirnya diberi nama Goong Rénténg Embah Bandong.
Kata Bandong berasal dari kata Bandung yaitu nama daerah asal Embah Manggung Jayadikusumah dan Bandang atau kabandang yaitu terbawa, tidak kembali ke tempat asalnya (kabawa, teu balik kana kandangna (Satjadibrata, 2016:58). Sehingga apabila disatukan menjadi kata Banduang atau Bandong.*** by Mayang A. Nurzaini, 8 Mei 2019.