Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale Kota BandungSejarah Bale Bandung di Era Wiranatakusumah II

Sejarah Bale Bandung di Era Wiranatakusumah II

Bale Bandung masa kini
Bale Bandung masa kini

BALEBANDUNG – Aloen-aloen Bandoeng mulai dibangun setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pertama Herman Willem Daendels (1808-1811), yang membangun Jalan Raya Pos (Postweg) antara Anyer – Panarukan. Jalan sepanjang 1.000 kilometer itu dibangun demi kelancaran Daendels menjalankan tugasnya di Jawa.

Turunlah SK tanggal 25 Mei 1810 untuk para Bupati di Tatar Jawa, agar memindahkan pusat pemerintahan atau Ibu Kota Kabupaten Bandung ke pinggir jalan raya. Saat itu kantor Kabupaten Bandung berada di Karapyak atau Dayeuhkolot.

Bupati saat itu Rd. Wiranatakusumah II pindah ke sekitar Alun-alun (sekarang), karena memang letaknya strategis di pinggir Jalan Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang). Sejak itu, Wiranatakusumah II yang dijuluki Dalem Kaum I dikenal sebagai perintis pembangunan gedung kabupaten, pendopo dan Alun-alun Bandung sekaligus dijuluki Bapak Pendiri Kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan Surat Keputusan Bupati Bandung tanggal 25 September 1810.

Bupati Bandung keenam yang menjabat sejak 1794 itu meninggal tahun 1829 dan dimakamkan di belakang Mesjid Kaum (Mesjid Agung sekarang). Makanya kawasan tersebut dikenal dengan nama Jl. Dalem Kaum.

Di Alun-alun Bandung sebelah barat dibangun mesjid besar dengan arsitektur Jawa berupa menara bertingkat dan ujungnya runcing. Masjid ini berfungsi juga untuk tempat menikahkan orang-orang di depan penghulu. Hingga terkenallah sebutan bagi orang yang akan menikah dengan sebutan “Ka Bale Nyungcung”. Masjid Kaum awalnya dibuat dari bahan kayu beratap rumbia dan daun ijuk. Pada tahun 1850 dirombak total dengan tembok dan genting.

Di Alun-alun sewaktu-waktu ada pertunjukan olahraga dan hiburan. Di tengah Alun-alun dibangun panggung tempat adu boksen (tinju). Sesekali juga diadakan pertandingan adu domba dan lomba panahan antar kabupaten dan pula pasar malam. Sepanjang hari hingga malam, banyak orang berdagang. hingga kawasan tersebut menjadi “Pujasera” (Pusat jajan Serba Ada).

Mulai tahun 1895 hingga 1920 pembangunan sekitar alun-alun terus berkembang. Pada tahun 1920 dibangun gedung bioskop untuk memutar gambar idoep (film), di Alun-alun timur dibangun gedung bioskop “Oriental”, “Varia”, “Feestterein” dan “Elia”.

Di pojok tenggara Alun-alun Bandung terdapat Bale Bandung, gedung tempat para patih dan jaksa mengadakan rapat. Di depan Bale Bandung ada panggung kayu dan tiang gantungan, untuk menghukum mati para penjahat.

Umumnya Alun-alun ditanami pohon beringin. Di Alun-alun saat itu berdiri dua pohon beringin yang tumbuh di tengah lapangan. Yang satu diberi nama “Wilhelmina Boom” dan satunya lagi “Juliana Boom””, mengambil nama Ratu dan Putri mahkota kerajaan Belanda saat itu.

Poster Global 1 Plus Bale DargaDigantung di Alun-alun

Kisah para tahanan dulu memang mengenaskan. Dahulu di depan Bale Bandung dibuat sebuah tiang mirip gawang sepak bola. Di “mistar gawang” tergantung beberapa tambang yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah terdakwa yang akan dieksekusi hari itu.

Di saat tanam paksa atau “Cultuur Stelsel” yang dikomando Gubernur Jenderal Daendels seorang “Marschallk” atau dalam telinga orang pribumi terdengar sebagai “Mas Galak” banyak orang pribumi yang membelot dan melawan. Mereka itulah yang akan diadili dan dieksekusi di tiang gantungan Alun-alun Bandung atau di Lapangan Tegallega.

Adalah Alimu, seorang juru tulis “Koffie Pakhuis” melihat bahwa pada saat itu kompeni amat serakah dalam membeli kopi dari rakyat dengan harga murah. Alimu lalu membelot, ia bersekutu dengan mandor agar setiap kopi yang dipanen rakyat tidak dijual kepada kompeni, melainkan kepada orang Inggris di Cirebon, karena tawarannya lebih tinggi.

Ketika Alimu dan mandor sedang membawa kopi dengan menggunakan pedati yang ditarik kerbau menuju Cirebon, penguasa keamanan bernama Schout yang oleh orang Bandung dipanggil “Tuan Sakaut” berang. Beberapa aparat segera mengejar memakai kuda.

Alimu dan mandor ditangkap lalu diadili singkat di Bale Bandung. Tanpa bisa membela diri, tanpa didampingi pengacara, hakim dan jaksa sepakat untuk menghukum mati Alimu dan sang mandor dengan hukuman gantung di tiang gantungan.

Cerita para tahanan yang dieksekusi di tiang gantungan bukan hanya itu saja. Khususnya di masa tanam paksa. Banyak rakyat yang dianggap “makar” karena menentang penjajah Belanda ditangkapi. Termasuk garong, perampok, dan para preman yang selalu meresahkan masyarakat. Sidangnya, ya itu tadi, dilakukan singkat di Bale Bandung, saat itu juga para terdakwa divonis mati di tiang gantungan. (berbagai sumber)

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img