BANDUNG – Untuk menumbuhkan minat masyarakat dalam menonton film serta membangkitkan industri bioskop di tanah air, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang juga aktor kawakan ini meminta agar pajak tontonan yang diterapkan tidak lebih dari 10%. Hal ini perlu dilakukan agar para pengusaha yang ingin membuat bioskop bisa ikut terlibat, terutama di daerah yang belum ada bioskop.
“Saya minta jangan dipersulit ya. Kalau buka bioskop juga jangan sampai pajaknya langsung mahal. Supaya ada keuntungan dulu buat para pengusahanya. Pajak daerahnya kecilin dulu, nanti kalau animonya sudah bagus, makin tumbuh berkembang ya tinggal dinaikin,” ungkap Wagub di Gedung Sate, Jl. Diponegoro No. 22, Kota Bandung, Senin (9/5/16).
“Jangan lebih dari 10 persen lah pajak tontonan itu, kalau perlu sekarang rendahkan dulu. Lima atau enam persen,” sarannya.
Wagub pun meminta agar BUMD atau pihak swasta ikut berperan serta dalam mengembangkan bioskop, terutama di daerah yang belum memiliki bisokop. Ia pun membuka peluang bagi para pengusaha yang ingin kerjasama dengan memanfaatkan aset Pemprov Jabar untuk membuat bioskop.
Di samping itu, dalam menentukan harga tiket tontonan diharapkan para pengusaha juga bisa memperhatikan kemampuan dan daya beli masyarakat, dengan begitu animo masyarakat untuk menonton ke bioskop bisa meningkat, sehingga bisa berdampak pada industri perfilman nasional.
“Filmnya diatur, berapa banyak layar yang untuk film Indonesia, berapa banyak yang buat film impor. Silahkan saja impor film no problem. Tapi prioritas misalkan 60 persen dari layar yang ada di bioskop manapun harus film Indonesia. Baru cepet film Indonesia maju. Tapi kalau sekarang kan nggak, karena ada satu kekuatan yang sangat besar di bioskop. Jadi kalau ada satu film yang main terus laku, bisa hampir semua layar ya. Ada kesan monopoli jadinya di bidang bioskop dan juga film impor,” papar Deddy.
Menurutnya untuk mengatur peredaran film di Indonesia harus dibuat sebuah aturan yang tertuang dalam Peratutan Pemerintah (PP). Dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah aparat pemerintah yang berwenang untuk membuat PP tersebut agar tidak terjadi monopoli dalam perbioskopan nasional.
“PP-nya aja ga ada untuk mengatur distribusi dan peredaran film. Perintahnya ada di undang-undang, tapi sampai hari ini belum ada PP-nya. Jadi, saya kira harus dibuat secara menyeluruh, jangan-jangan undang-undangnya ga bisa diimplementasikan dengan baik, perlu diubah, harus direvisi undang-undang tadi. Undang-undang itu dibikinnya keburu-keburu,” bebernya.