Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale Kota BandungWalhi Jabar Laporkan Pemkot Bandung ke Ombudsman

Walhi Jabar Laporkan Pemkot Bandung ke Ombudsman

ist
ist

BANDUNG – Walhi Jawa Barat melaporkan Pemkot Bandung ke Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, terkait kebijakan diskresi dan pelanggaran-pelanggaran pembangunan sarana komersil tanpa pengawasan ketat.

“Kami berharap, Ombudsman RI Perwakilan Jabar dapat mengevaluasi kebijakan ini, menelusuri praktik maladministrasi perizinan, memanggil Walikota Bandung dan DPRD Jawa Barat atas keluarnya Diskresi Walikota Bandung dan praktik maladministrasi atas lemahnya pengawasan Pemkot Bandung yang justru menguntungkan pihak pengembang property. Kami berharap ada rekomendasi tegas dari Ombudsman RI atas diskresi dan maladministrasi ini,” ungkap Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan dalam rilisnya, Senin (6/9/16).

Dadan mengatakan pihaknya sudah melaporkan ke Ombudsman sejak 26 Agustus lalu. Walhi juga mendesak kepada Pemkot Bandung dan DPRD Kota Bandung untuk mencabut kebijakan diskresi tersebut dan meminta pertanggung jawaban Walikota Ridwan Kamil secara hukum atas kebijakan yang diambilnya.

“Kami pun menuntut agar pemerintah mengambil tindakan baik berupa sanksi teguran, paksaan berupa pembongkaran bangunan-bangunan liar yang terbukti melanggar aturan dan mengambil langkah hukum perdata dan pidana kepada para pengembang sesuai dengan peraturan yang dilanggarnya,” tandas Dadan.

Ia beralasan, maraknya “pembangunan liar” sarana komersil seperti hotel, apartemen, perkantoran dan pusat perdagangan yang dilakukan oleh para pengusaha pengembang properti di Kota Bandung, mengesankan adanya pembiaran dari Pemerintah Kota Bandung di awal pembangunannya. Hal ini membuat para pengembang semakin berani membangun walau tanpa dilengkapi perizinan lokasi (tata ruang), dokumen lingkungan, izin mendirikan bangunan dan izin-izin lainnya, termasuk rekomendasi gubernur untuk pembangunan komersil di Kawasan Bandung Utara sebagai syarat membangun.

Dadan menyebutkan setidaknya ada 16 bangunan yang diduga menyalahi dan melanggar aturan. Dari jumlah tersebut diantaranya ada 9 hotel dan apartemen baru. Sebagai contoh pembangunan Hotel Pullman yang tepat berada di depan Gedung Sate Pemprov Jawa Barat.

“Berdasarkan observasi lapangan, informasi dan kajian kami atas dokumen perizinan, bangunan tersebut telah melanggar aturan tata ruang provinsi dan Kota Bandung, tidak memiliki dokumen AMDAL dan izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” ungkap Dadan.

Ia menegaskan, pengembang yang melanggar aturan seperti di atas tidak bisa diberikan diskresi berupa menyediakan RTH di tempat lain, menyediakan pohon atau denda yang ringan, diberhentikan sementara, lalu pengembang diminta menyelesaikan perizinan.

“Seharusnya yang langgar aturan, dicabut izin, dibongkar dan diberikan sanksi perdata dan pidana. Tentu, berbagai pembangunan sarana komersil yang melanggar merugikan sangat merugikan secara sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat setempat, lingkungan hidup dan menguntungkan para pelaku usaha komersil/property di kota,” tandas Dadan.

Terhadap kasus-kasus tersebut di atas langkah yang diambil oleh Pemkot Bandung bukannya memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha yang melakukan praktik maladministrasi dan melanggar aturan, justru mengeluarkan kebijakan diskresi perizinan.

“Kebijakan diskresi perizinan yang dikeluarkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menunjukan ketidakmampuan Pemkot Bandung dalam menyelenggarakan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan tidak memberikan pelayanan yang baik kepada warga masyarakat,” kata Dadan.

Dadan Ramdan menjelaskan menurut Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Sementara, peraturan pembangunan sudah jelas ada UU dan Perdanya termasuk UU dan Perda Bangunan serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Dadan menjelaskan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (2) UU 30/2014 tujuan diskresi adalah untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah, mengisi kekosongan hukum dan memberikan kepastian hukum. Selanjutnya pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi harus memenuhi syarat [Pasal 24] tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB); berdasarkan alasan-alasan yang objektif; tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan dilakukan dengan iktikad baik.

Menurut Dadan, kebijakan diskresi yang dikeluarkan Walikota Ridwan Kamil untuk mengatasi persoalan semrawutnya pembangunan dan pelanggaran perizinan oleh pengembang sangat bertentangan dengan penjelasan UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. “Dalam aspek pelayanan publik, berbagai kasus pelanggaran menunjukkan adanya praktik maladministrasi perizinan,” bebernya.

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img