Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale JabarWartawan Perang Dunia I RMP Kartono; Sempat Jadi Guru di Bandung

Wartawan Perang Dunia I RMP Kartono; Sempat Jadi Guru di Bandung

Raden Mas Panji Sosro Kartono

Balebandung.com – Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji (RMP) Sosro Kartono lahir di Pelemkerep, Mayong, Jepara, 10 April 1877 – meninggal di Bandung, 8 Februari 1952 pada umur 74 tahun.

Sebagai putra dari Bupati Jepara Raden Mas Ario Samingoen Sosrodiningrat (1880-1905), RMP Sosrokartono adalah kakak kandung RA Kartini, yang memberi inspirasi Kartini untuk menjadi tokoh emansipasi wanita.

Semenjak kecil telah menunjukkan kepandaiannya, setelah tamat dari Europesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Selanjutnya pada tahun 1898, Kartono meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda dengan masuk di Sekolah Teknik Tinggi Leiden.

Namun demikian, karena merasa tidak cocok, ia pun pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur, sehingga lulus dengan menggenggam gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden. Kartono menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putra-putra Indonesia lainnya.

Ia seorang pangeran ganteng, pinter, gaul, anak orang kaya, terkenal, dan merakyat. Kurang apa lagi si cowok keren ini. Cewek-cewek Eropa nyebutnya Si Sosrokartono, “de mooie Sos.” (Sos yang ganteng). Bule Eropa dan Amerika sebut dia dengan hormat, ‘de Javanese Prins’ (Pangeran Jawa). Kalau pribumi sendiri memanggilnya Kartono saja. Beranjak usia senja, keluarga dan rakyat memanggilnya Eyang Sosro.

Drs RMP Sosrokartono memiliki beberapa profesi karena kejeniusannya sehingga dia dijuluki “Si Jenius dari Timur” dan “De Javanese Prins”,[2] diantaranya:

Wartawan Perang Dunia I, dari harian The New York Herald di Kota Wina (Austria) semenjak 1917. Test masuknya, memadatkan artikel Perancis jadi berita 30 kata dalam 4 bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, Perancis). Kartono lulus dengan 27 kata, para bule asli lebih dari 30 kata.

Dalam buku “Memoirs” tulisan Muhammad Hatta, dituliskan bahwa Sosrokartono memperoleh gaji sebesar USD 1.250. Bahkan guna memudahkan pergerakannya selama Perang Dunia I, ia diberi pangkat Mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat, tapi ia menolak bawa senjata. “Saya tak nyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya bawa senjata?” tukas Kartono.

Prestasinya yang lain, Sosrokartono adalah seorang wartawan pertama di Indonesia yang bisa memotret kawah Gunung Kawi dari atas udara, tanpa menggunakan pesawat terbang.

Dalam Sejarah Dunia, Perundingan Perdamaian Perang Dunia ke I yang resmi berlangsung di Kota Versailles (Perancis). Ketika banyak wartawan yang mencium adanya ‘perundingan perdamaian rahasia’ masih sibuk mencari informasi, koran Amerika The New York Herald Tribune ternyata telah berhasil memuat hasil perundingan perdamaian rahasia di Hutan Champaigne, Perancis Selatan yang menggemparkan Amerika dan Eropa. Penulisnya ‘anonim’, hanya menggunakan kode pengenal ‘Bintang Tiga’. Kode tersebut di kalangan wartawan Perang Dunia ke I dikenal sebagai kode dari wartawan perang RMP Sosrokartono.

Dalam ‘Memoir’ tulisan Drs Muhammad Hatta ditulis bahwa RMP Sosrokartono yang menguasai Bahasa Basque, menjadi penerjemah pasukan Sekutu kala melewati daerah suku Basque menjelang akhir Perang Dunia I, diadakan perundingan perdamaian rahasia antara pihak yang bertikai. Suku Basque adalah salah satu suku yang hidup di Spanyol. Pihak-pihak yang berunding naik kereta api dan berhenti di hutan Compaigne di Perancis Selatan. Di dalam kereta api, pihak yang bertikai melakukan perundingan perdamaian rahasia. Di sekitar tempat perundingan telah dijaga ketat oleh tentara dan tidak sembarangan orang apalagi wartawan boleh mendekati tempat perundingan dalam radius 1 km. Semua hasil perundingan perdamaian rahasia tidak boleh disiarkan, dikenakan embargo sampai perundingan yang resmi berlangsung.[3]

Kartono jadi penerjemah di Wina (Austria), dengan menguasai 17 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Nusantara. Tahun 1919 didirikan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) atas prakarsa Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson. Dari tahun 1919 sampai 1921, Sosrokartono menjadi anak Bumiputra yang mampu menjabat sebagai Kepala Penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. Bahkan dia berhasil mengalahkan para poliglot (ahli bahasa) dari Eropa dan Amerika sehingga meraih jabatan tersebut. Liga Bangsa-Bangsa kemudian berubah nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) pada tahun 1921.[4]

Dokter Air Putih [5] ,

Tahun 1925 Pangeran Sos pulang ke Tanah Air. Ki Hajar Dewantara angkat dia jadi kepala sekolah menengah di Bandung. Rakyat berjejal temui si pintar ini, tapi minta air dan doa. Anehnya banyak yang sembuh. Maka antrian pun makin banyak termasuk bule-bule Eropa. Akhirnya ia dirikan rumah pengobatan Pondok Darussalam (Kedamaian) di Jalan Pungkur 7 Bandung.

Sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bilik bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur, merupakan berkas sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantoro. Bangunan itu tepat berada di depan Terminal Kebon Kalapa sekarang.

Kartono dikenal Belanda sebagai Dokter Air Putih, karena dapat mengobati penyakit hanya dengan menggunakan media air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien.

Dikisahkan bahwa Sosrokartono mendengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur lebih kurang 12 tahun. Anak itu adalah anak dari kenalannya orang Belanda yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meski sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu.

Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh. Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu.

Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs. RMP Sosrokartono mempunyai daya persoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya. Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di perguruan tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.

Kartono kecewa, karena di sana ia hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai dengan harapannya. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya.

RMP Sosrokartono pulang ke tanah air tahun 1925. Ia kemudian menetap di Kota Bandung. Supaya RMP Sosrokartono tidak ikut kegiatan politik yang sedang marak saat itu, RMP Sosrokartono kemudian ditawari berbagai jabatan dari Pemerintah Kolonial Belanda seperti jabatan Bupati, Adviseur Voor Inlandse Zaken dan Direktur pada Museum Bataviaasch Genootschaap Van Kunsten en Wetenschappen di Jakarta. Namun tawaran jabatan itu ditolak RMP Sosrokartono. RMP Sosrokartono memilih menjadi Kepala Sekolah di Perguruan Taman Siswa, Nationale Middlebare School yang baru didirikan di Bandung.

Guru-guru di sekolah Taman Siswa itu antara lain Ir Soekarno, Dr Samsi, Mr Sunario dan Mr Usman Sastroamidjoyo. RMP Sosrokartono juga ikut aktif dalam kegiatan politik saat zaman pergerakan nasional Indonesia. Kegiatan Sosrokartono dapat dilihat dari laporan para pejabat kolonial Belanda. Dalam laporan rahasia tahun 1962 yang dibuat Van Der Plas pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken tertulis kalau Drs Sosrokartono termasuk pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat dipercaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Laporan ‘Komisi Istimewa’ yang terdiri Herwerden dan Toxopeus langsung kepada Ratu Wilhelmina berisikan kalau Sosrokartono penganjur swadesi dan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ketentraman dan kedamaian di Hindia Belanda.

Tahun 1927, RMP Sosrokartono terpaksa keluar dari Perguruan Taman Siswa karena tekanan Pemerintah Kolonial Belanda terhadapnya sudah tak tertahankan lagi. RMP Sosrokartono kemudian sering melakukan ‘tarak brata’, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah pisang. Selanjutnya ia jadi suka berpuasa tanpa berbuka dan bersahur, dan juga tidak tidur selama berhari-hari, biasanya sampai 40 hari lebih.

Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 Februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan tenang. Presiden Soekarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah RMP Sosrokartono dengan pesawat terbang militer ke Kota Semarang. Kemudian disemayamkan untuk terakhir kalinya di Kompleks Makam Sedhomukti, Jalan Sosrokartono, Kaliputu, Kota Kudus.

Kata Mutiara RMP Sosrokartono
Soekarno muda sering diskusi dengannya. Bung Hatta sebut beliau orang jenius. Di rumahnya berkibar bendera merah putih. Tapi Belanda, Jepang, dan sekutu seolah tak peduli. Orang lain pasti dihajar.

Di usia senjanya, meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.

Pada nisan Kartono, dituliskan beberapa kata mutiara. Pada nisan sebelah kiri terdapat kata-kata terpilih dari Kartono : “Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji” (Kaya tanpa harta, sakti tanpa mantra).

Sedang pada nisan sebelah kanan tercantum kalimat : “Trimah mawi pasrah (pasrah terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (tanpa imbalan, tanpa rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).***

 

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img